Jumat, 27 Januari 2017
Selasa, 11 Oktober 2016
Dukung Bantuan Hukum untuk Masyarakat
Dewan Hearing Bersama Posbakumadin
BANTUAN HUKUM: Rudi P Mangunsong memimpin hearing dengan Posbakumadin Tanjung Redeb di ruang rapat gabungan DPRD Berau, Senin (10/10) kemarin.
PROKAL.CO, TANJUNG REDEB – Jajaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Berau, menggelar hearing dengan Pos Bantuan Hukum Advokat Indonesia (Posbakumadin) Tanjung Redeb, membahas persoalan bantuan hukum untuk masyarakat, di ruang rapat gabungan DPRD Berau, Senin (10/10).
Rapat yang dipimpin Ketua Badan Legislasi DPRD Berau Rudi P Mangunsong, didampingi anggota Komisi II M Yunus dan Eli Esar Kombong, serta anggota Komisi III Warsito, dihadiri Ketua Umum Perkumpulan Advokat Indonesia (Peradin) Roupan Rambe, Ketua Posbakumadin Tanjung Redeb Pius Pati Molan, dan pengurus Posbakumadin Tanjung Redeb lainnya.
Dijelaskan Pius Pati Molan, anggaran Posbakumadin yang berasal dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI sebesar Rp 90 juta, tidak cukup untuk menutupi operasional Posbakumadin Tanjung Redeb selama setahun. Bahkan, hingga Juni tahun ini, anggaran operasional Posbakumadin telah habis, setelah mendampingi 201 perkara yang melibatkan masyarakat. Sehingga, perkara-perkara masyarakat yang mendapat pendampingan Posbakumadin selanjutnya, tidak lagi terdapat anggarannya.
“Anggaran Posbakumadin dari pusat sudah over kuota,” kata Pius saat hearing.
Diharapkan, dengan dukungan DPRD Berau, Pemkab Berau bisa mengalokasikan anggaran untuk Posbakumadin Tanjung Redeb. “Karena dengan over kuota tadi, pelayanan hukum yang kami berikan juga tidak bisa maksimal,” terangnya.
Pius mengharapkan, DPRD Berau bisa berinisiatif menyusun rancangan peraturan daerah (raperda) tentang bantuan hukum, guna membantu Posbakumadin Tanjung Redeb menjalankan fungsinya memberikan pelayanan dan pendampingan hukum kepada masyarakat. “Kita harap raperda ini lahir dari inisiatif dewan,” ujarnya.
Rudi P Mangunsong yang menjadi pimpinan rapat menjelaskan, anggaran Rp 90 juta dari pusat memang sangat terbatas jika melihat kondisi geografis Kabupaten Berau. “Memang tidak bisa disamakan kondisi geografisnya seperti daerah-daerah di Pulau Jawa,” jelas Rudi.
Apalagi dengan jumlah kasus yang mendapat pendampingan Posbakumadin di Berau cukup banyak. “Intinya bagaimana kita berperan memberikan bantuan hukum kepada masyarakat kurang mampu. Bagaimana dengan jumlah kasus yang besar, kita bisa berkontribusi,” terang politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini.
Menurutnya, raperda bantuan hukum tersebut adalah pemikiran yang luar biasa. Yang bisa memberikan dasar hukum kepada Pemkab Berau untuk bekerja sama dengan Posbakumadin Tanjung Redeb, memberikan perlindungan dan pendampingan hukum kepada masyarakat Berau.
Rudi menambahkan, dalam raperda nanti, harus dijelaskan dengan rinci sistem reimbursement penggantian dana pendampingan perkara hukum yang dilakukan anggota Posbakumadin Tanjung Redeb. “Yang utama menurut saya, teknis rembes itu harus jelas, rembes mengganti biaya persidangan, biaya pendampingan yang digunakan saat perkara,” terangnya.
Di tempat yang sama, anggota Komisi II M Yunus, menyambut baik usulan tersebut. Namun menurutnya, dasar pembentukan perdanya harus jelas guna memberi legalitas kepada pemerintah dalam memberikan bantuan dana untuk Posbakumadin Tanjung Redeb.
Senada, anggota Komisi III Warsito, sangat mengapresiasi usulan penyusunan raperda bantuan hukum tersebut. “Ini satu itikad yang sangat mulia untuk memberikan bantuan kepada saudara-saudara kita yang terhimpit masalah hukum,” ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.
Untuk itu, Warsito meminta Posbakumadin Tanjung Redeb mencari referensi perda bantuan hukum yang sudah ada di daerah lain, untuk dijadikan rujukan pihaknya mengusulkannya sebagai perda inisiatif dewan. “Saya terus terang sangat mengapresiasi ini,” ujarnya.
Sementara Ketua Umum Peradin Roupan Rambe, menyebut beberapa daerah di Pulau Jawa dan Sumatra sudah banyak yang memiliki perda bantuan hukum. Bahkan, turunan perda seperti peraturan gubernur dan peraturan bupati, juga sudah banyak yang dimiliki daerah-daerah di Pulau Jawa dan Sumatera. “Nanti saya tugaskan Ketua Posbakumadin Tanjung Redeb untuk menyerahkan contohnya ke anggota dewan,” jelas Roupan.
Terkait reimbursement, Roupan tetap meminta agar memperhatikan kondisi keuangan daerah. “Sehingga tetap ada keseimbangan keuangan daerah. Yang penting menyesuaikan keseimbangan keuangan daerah,” imbuhnya. (adv/udi/app)
Sumber : http://berau.prokal.co/read/news/45962-dukung-bantuan-hukum-untuk-masyarakat.html
Kamis, 08 September 2016
Kepala BPHN: Kehadiran Paralegal Sangat Membantu Pelaksanaan Bantuan Hukum di Indonesia
BPHN – Jakarta. Rabu 10 Agustus 2016 Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Prof. Dr.
Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum menjadi narasumber dalam acara Pertemuan
Nasional Paralegal di Auditorium Erasmus Huis Jalan Rasuna Said Jakarta
Selatan. Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum APIK Indonesia dan Political Affairs DepartementKedutaan Belanda yang menjadi penggagas acara ini mengundang secara khusus Kepala BPHN guna membicarakanperkembangan kebijakan negara terkait bantuan hukum bagi rakyat miskin dan marginal terutama dikaitkan dengan peran Paralegal.
Kepala BPHN yang juga Ahli Hukum Tata Negara di Universitas Gadjah Mada ini mengawali materinya dengan mengatakan, “Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum berhak melakukan rekruitmen
terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum.” Pada
periode 2013-2015 dengan jumlah OBH (Organisasi Bantuan Hukum) sebanyak 310 dan Jumlah Advokat sebanyak1117 juga memiliki
1018 Paralegal, dan jika kita melihat Periode Akreditasi 2016-2018 maka
ada peningkatan menjadi 405 OBH, 2070 Advokat dan 2130 Paralegal. “saya
senang pada periode 2016-2018 Paralegal
di Indonesia meningkat cukup drastis, dan ini saya anggap sebagai tanda
positif bagi dunia hukum dengan keterlibatan secara langsung mahasiswa
fakultas hukum yang notabene sebagai generasi penerus dalam penegakan
hukum dan dalam hal ini penerus pelaksana bantuan hukum.” Ungkap Kepala
BPHN yang telah menjabat selama dua tahun tersebut.
Memang
jika kita lihat sebaran OBH, pelaksana bantuan hukum khususnya advokat,
dan jumlah paralegal masih sangat belum ideal dibandingkan jumlah
penduduk dan letak geografis Indonesia. Idealnya setiap desa memiliki
satu orang paralegal yang akan di koordinasikan oleh seorang penyuluh
hukum. “Jumlah
Desa dan Kelurahan di Indonesia ada sekitar 81.253, coba kita hitung
baru berapa jumlah paralegal yang ada, angka ini tentunya jauh dari
ideal,” ungkap Kepala BPHN.
Kehadiran
Paralegal memang sangat membantu dalam pelaksanaan bantuan hukum di
Indonesia. Apalagi mengingat bahwa Paralegal dapat melakukan kegiatan
bantuan hukum baik litigasi (pendamping advokat) maupun nonlitigasi.
Prof. Dr.
Enny Nurabingsih, S.H., M.Hum selaku Kepala Badan Pembinaan Hukum
Nasional juga terus berupaya bahwa “BPHN sebagai lembaga yang
menyelenggarakan bantuan hukum terus berupaya maksimal dalam Pembinaan
Paralegal, Membuat dan menjalankan Standar Kompetensi Paralegal, dan
terus berkoordinasi bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian
Desa PDTT dalam mewujudkan satu desa memiliki setidaknya satu orang
paralegal.” (RSH/RA).
Sumber : http://bphn.go.id/news/2016081102092381/Kepala-BPHN-Kehadiran-Paralegal-Sangat-Membantu-Pelaksanaan-Bantuan-Hukum-di-Indonesia
Kamis, 09 Juni 2016
Sengketa Lahan Siap “Eksekusi” Kembali Muncul
TANJUNG REDEB – Selain lahan di Jalan Pulau Panjang yang menjadi sengketa, ternyata jauh sebelum itu sudah bergulir kasus sengketa lahan di Jalan Murjani II, Gang Pelangi tepatnya di belakang Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah (STIEM) Tanjung Redeb. Bahkan kabarnya, lahan itu pun telah siap dieksekusi Abdul Galib Cabbang selaku penggugat.
Dikonfirmasi beraunews.com, Kamis (9/6/2016) terkait kebenaran kabar ini, Ketua Pos Bantuan Hukum Advokat Indonesia (Posbakumadin) Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Redeb, Pius Pati Molan membenarkan hal itu. Dia mengatakan, pihaknya menerima klien dengan perkara sengketa lahan dan laporan tersebut resmi diterima pihaknya tanggal 18 April 2016 lalu.
“Memang kita dapat aduan dan bantaun hukum resmi diterima oleh Posbakumadin pada 18 april lalu,” ujarnya.
Pius menceritakan, awal mula kasus perdata tersebut naik ke persidangan tahun 1985 dengan perkara perselisihan batas lahan antara Abdul Galib Cabbang selaku penggugat dan Daeng Bedu selaku tergugat dengan luas lahan sekitar 2.890 meter persegi. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Redeb Nomor 10/pts.pdt/g/1985/pn.tjr tanggal 5 November 1985, Abdul Galib Cabbang dimenangkan selaku pemilik lahan yang sah.
“Kepemilikan lahan Cabbang bermula saat ia menjadi korban kebakaran pada tahun 1978. Pada tahun 1980, Departemen Sosial memberikan lahan untuk digarap dan pihak Kepala Kampung menunjuk kawasan tersebut sebagai lahan yang digarap oleh Cabbang dan diketahui oleh Kantor Agraria. Tak terima dengan putusan PN tersebut, tergugat melakukan langkah hukum banding dalam perkara Nomor 51/1986/pdt.pt.kt/smd tanggal 9 Juli 1986. Lagi-lagi pihak Abdul Galib Cabbang kembali dimenangkan dan putusan tersebut menguatkan putusan PN Tanjung Redeb,” ungkapnya.
Lebih jauh, Pius mengatakan tak puas dengan keputusan tersebut, pihak tergugat kembali mengambil langkah hukum dengan naik ke tingkat Mahkamah Agung (MA) dengan putusan Nomor 3986.K/pdt/1986 dalam perkara kasasi perdata tanggal 5 November 1986 menyatakan Abdul Galib Cabbang kembali dinyatakan sebagai pemilik yang sah atas lahan tersebut.
“Kasus ini sudah sampai ke MA dan pihak penggugat dinyatakan sebagai pemilik sah,” bebernya.
Karena sudah dinyatakan sebagai pemilik sah atas lahan tersebut, pihak penggugat berencana melakukan eksekusi karena di atas lahan tersebut sudah ada tanaman dan beberapa bangunan. Namun, lantaran sudah tak memiliki dana lagi, Cabbang selaku penggugat memutuskan menunda eksekusi itu dan pergi merantau ke Samarinda.
“Pada tahun 1986 itu, ia tinggalkan lokasi lahan tersebut dan di tahun 2014 lalu ia kembali ke Berau sudah mendapati lokasi tanahnya sudah banyak dibangun dan diperjualbelikan. Setelah ia mengetahui adanya bantuan hukum tanpa biaya, maka ia mengadukan kasus ini ke Posbakumadin,” jelasnya.
Berdasarkan laporan itu, Posbakumadin membentuk tim dan akan menelaah kembali perkara perdata yang ada dan saat ini langkah yang diambil mendatangi pemilik bangunan dan memberikan pemahaman atau pendekatan secara persuasif.
“Atas laporan ini, kami sudah buat tim untuk melakukan pengecekan kembali dan menelaah kasusnya. Selain itu, kami juga melakukan pendekatan terhadap pemilik bangunan yang ada agar mereka mengerti dengan putusan yang sudah inkrach van gewijsde (berkekuatan hukum tetap-red),” pungkasnya.(dws)
“Memang kita dapat aduan dan bantaun hukum resmi diterima oleh Posbakumadin pada 18 april lalu,” ujarnya.
Pius menceritakan, awal mula kasus perdata tersebut naik ke persidangan tahun 1985 dengan perkara perselisihan batas lahan antara Abdul Galib Cabbang selaku penggugat dan Daeng Bedu selaku tergugat dengan luas lahan sekitar 2.890 meter persegi. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Redeb Nomor 10/pts.pdt/g/1985/pn.tjr tanggal 5 November 1985, Abdul Galib Cabbang dimenangkan selaku pemilik lahan yang sah.
“Kepemilikan lahan Cabbang bermula saat ia menjadi korban kebakaran pada tahun 1978. Pada tahun 1980, Departemen Sosial memberikan lahan untuk digarap dan pihak Kepala Kampung menunjuk kawasan tersebut sebagai lahan yang digarap oleh Cabbang dan diketahui oleh Kantor Agraria. Tak terima dengan putusan PN tersebut, tergugat melakukan langkah hukum banding dalam perkara Nomor 51/1986/pdt.pt.kt/smd tanggal 9 Juli 1986. Lagi-lagi pihak Abdul Galib Cabbang kembali dimenangkan dan putusan tersebut menguatkan putusan PN Tanjung Redeb,” ungkapnya.
Lebih jauh, Pius mengatakan tak puas dengan keputusan tersebut, pihak tergugat kembali mengambil langkah hukum dengan naik ke tingkat Mahkamah Agung (MA) dengan putusan Nomor 3986.K/pdt/1986 dalam perkara kasasi perdata tanggal 5 November 1986 menyatakan Abdul Galib Cabbang kembali dinyatakan sebagai pemilik yang sah atas lahan tersebut.
“Kasus ini sudah sampai ke MA dan pihak penggugat dinyatakan sebagai pemilik sah,” bebernya.
Karena sudah dinyatakan sebagai pemilik sah atas lahan tersebut, pihak penggugat berencana melakukan eksekusi karena di atas lahan tersebut sudah ada tanaman dan beberapa bangunan. Namun, lantaran sudah tak memiliki dana lagi, Cabbang selaku penggugat memutuskan menunda eksekusi itu dan pergi merantau ke Samarinda.
“Pada tahun 1986 itu, ia tinggalkan lokasi lahan tersebut dan di tahun 2014 lalu ia kembali ke Berau sudah mendapati lokasi tanahnya sudah banyak dibangun dan diperjualbelikan. Setelah ia mengetahui adanya bantuan hukum tanpa biaya, maka ia mengadukan kasus ini ke Posbakumadin,” jelasnya.
Berdasarkan laporan itu, Posbakumadin membentuk tim dan akan menelaah kembali perkara perdata yang ada dan saat ini langkah yang diambil mendatangi pemilik bangunan dan memberikan pemahaman atau pendekatan secara persuasif.
“Atas laporan ini, kami sudah buat tim untuk melakukan pengecekan kembali dan menelaah kasusnya. Selain itu, kami juga melakukan pendekatan terhadap pemilik bangunan yang ada agar mereka mengerti dengan putusan yang sudah inkrach van gewijsde (berkekuatan hukum tetap-red),” pungkasnya.(dws)
Kamis, 12 Mei 2016
Bantuan Hukum untuk Warga Binaan
Kamis, 12 Mei 2016 14:43
Bantuan Hukum untuk Warga Binaan
MoU Posbakumadin dan Rutan Kelas IIB Tanjung Redeb
TANDA TANGAN: Ketua Posbakumadin beserta Kepala
Rutan Kelas IIB Tanjung Redeb, menandatangani MoU, Rabu (11/5). |
TANJUNG REDEB - Bertempat
di Rutan Kelas IIB Tanjung Redeb, sekitar pukul 10.00 Wita, Pos Bantuan
Hukum Advokat Indonesia (Posbakumadin) melakukan perjanjian kerja sama
melalui penandatanganan memorandum of understanding (MoU), dengan Rumah
Tahanan (Rutan) Kelas IIB Tanjung Redeb, guna memberikan bentuan hukum
terhadap warga binaan di rutan.
Dalam kegiatan tersebut, Ketua Posbakumadin dan Kepala Rutan
menjelaskan maksud dan tujuan MoU tersebut, di hadapan petugas rutan
serta warga binaan. Sehingga seluruh warga binaan mengerti akan fungsi
Posbakumadin yang direncanakan juga akan berkantor di rutan.
Ketua Pimpinan Cabang, Posbakumadin Tanjung Redeb, Pius Pati Molan,
mengatakan MoU ini bertujuan untuk memudahkan warga binaan berkonsultasi
terkait permasalahan hukum yang mereka hadapi. Selian itu, tim
Posbakumadin bisa memberikan pemahaman hukum terhadap warga binaan yang
ada di rutan tersebut.
“Tujuannya jelas agar warga binaan bisa berkonsultasi dengan kami
terkait kasus yang mereka hadapi. Selain itu, kita harus beri pemahaman
hukum kepada mereka mulai dari awal hingga menuju persidangan,”
ungkapnya kepada Berau Post, kemarin.
Dikatakannya, bantuan hukum diberikan secara gratis kepada seluruh
warga binaan yang kurang mampu. Sehingga mereka tidak kesulitan untuk
memikirkan siapa pendamping mereka dalam menghadapi kasus yang mereka
jalani.
“Kita utamakan warga binaan yang ekonominya kurang. Untuk menapatkan
bantuan hukum ini sendiri, kita pastikan mereka memiliki indentitas dan
juga surat keterangan tidak mampu,” bebernya.
Pius menambahkan, dalam undang-undang sudah jelas dikatakan bahwa
setiap warga negara berhak mendapat bantuan hukum. Namun, jika bantuan
hukum hanya diberikan saat persidangan, itu dianggap kurang efektif.
Sehingga perlu adanya pelayanan yang bisa lebih mendekatkan para
terdakwa dengan para pembantu hukum.
“Kalau saat ini, kita akan menempatkan anggota untuk berada di rutan
guna menerima sedikit apapun informasi dari para warga binaan ini,”
terangnya.
Pius berharap dengan adanya evaluasi tim Posbakumadin beberapa bulan
ini, bisa menjadi tolok urkur, sehingga pembelaan bagi para warga binaan
lebih profesional dan lebih maksimal.
Di tempat yang sama, Kepala Rutan Kelas IIB Teguh Pamuji, menambahkan
dengan adanya MoU tersebut, bisa menjadi sarana bagi warga binaan untuk
mendapat bantuan hukum dalam persidangan. Ini menjadi hal yang penting
saat mereka tak memiliki biaya untuk membayar para pembantu hukum.
“Kita harap, dengan adanya MoU ini, warga binaan kita bisa
memanfaatkannya dengan baik dengan berkonsultasi kepada mereka. Selain
itu, semoga mereka ke depannya bisa mendapat keadilan hukum,”
pungkasnya. (*/ded/udi)
http://berau.prokal.co/read/news/43515-bantuan-hukum-untuk-warga-binaan.html
Jumat, 01 April 2016
Yurisprudensi Perdata
Yurisprudensi Perdata
Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I
Putusan Ma
No.2356 K/Pdt/2008, Tertanggal 18 Februari 2009 Berbunyi : Perjanjian Jual Beli
yang dibuat dibawah tekanan & keadaan terpaksa adalah merupakan “Misbruik
Van Omstandigheiden” yang dapat mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan,
karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur Pasal 1320 KUH-Perdata yaitu tidak
adanya kehedak yang bebas dari salah satu pihak.
Putusan MA No.665 K/Sip/1973 terbit 1973 berbunyi : “satu surat bukti saja
tanpa dikuatkan oleh alat bukti lain tidak dapat diterima sebagai pembuktian”.
Putusan MA
No.84 K/Sip/1973 Tanggal 25 Juni 1973 berbunyi : “Catatan dari buku desa
(letter C) tidak dapat dipakai sebagai bukti hak milik jika tidak disertai
dengan bukti-bukti Lain”.
Putusan MA
No.3609 K/ Pdt/1985 dan Putusan MA No.112 K/ Pdt/1996 : Dinyatakan bahwa surat
bukti fotocopy yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat aslinya,
tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dan harus dikesampingkan”.
Putusan MA
No.126 K/Sip/1976, Tanggal 4 April 1978 berbunyi : “Untuk sahnya jual beli
tanah tidak mutlak harus dengan kata yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat
pembuat akta tanah, akta pejabat ini hanyalah suatu alat bukti”.
Putusan MA No.554 K/Sip/1976, Tanggal 26 Juni 1979 berbunyi : “Berdasarkan
Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10/1961 setiap pemindahan hak atas tanah
harus dilakukan dihadapan pejabat akta tanah setidak-tidaknya di hadapan Kepala
Desa yang bersangkutan”
Putusan MA No.237 K/Sip/1968 : “Jual beli tanah yang dilakukan
terang-terangan di muka Pejabat Desa harus dilindungi”.
Putusan MA
No.327 K/Sip/1976 Terbit 1977 Halaman 53-57 Berbunyi : “Ketentuan mengenai
sertifikat tanah sebagai tanda atau bukti hak milik tidaklah mengurangi hak
seseorang untuk membuktikan bahwa sertifikat yang bersangkutan adalah tidak
benar”.
Putusan MA
No.4/Sip/1958 tanggal 13 Desember 1958 : “Bahwa ikutnya sertanya Kepala Desa
dalam jual beli tanah bukanlah syarat mutlak dalam Hukum Adat, tetapi hanya
suatu faktor yang menyakinkan bahwa jual beli yang bersangkutan adalah Sah”.
Putusan
MA No.556 K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus 1974 yang menyatakan “Kalau objek
gugatan tidak jelas, maka gugatan tidak dapat diterima”;
Putusan MA
No.1149 K/Sip/1975 tanggal 17 April 1979 yang menyatakan “Karena dalam surat
gugatan tidak disebutkan jelas letak/ batas-batas tanah sengketa, gugatan tidak
dapat diterima”;
Putusan MA No.1159 K/PDT/1983 tanggal 23 Oktober 1984 yang menyatakan
“gugatan yang tidak menyebutkan batas-batas objek sengketa dinyatakan obscuur
libel dan gugatan tidak daat diterima”.
Putusan MA No.4
K/SIP/1958 tanggal 19 Desember 1958 yang menyatakan “Bahwa ikut sertanya Kepala
Desa dalam jual-beli tanah bukanlah syarat mutlak dalam Hukum Adat, tetapi
hanya suatu faktor yang meyakinkan bahwa jual-beli yang bersangkutan adalah
SAH.
Putusan MA RI
No.81 K/Sip/1971, Tgl 9 Juli 1973, Menyatakan : ”Bahwa karena tanah yang
dikuasai Tergugat ternyata tidak sama batas-batas dan luasnya dengan yang
tercantum dalam gugatan, maka gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima“.
Putusan
MA RI No.663 K/Sip/1971, Tgl 6 Agustus 1971 Jo. Putusan MARI No.1038 K/Sip/1972, Tgl 1
Agustus 1973, Menyatakan : “Turut Tergugat adalah seseorang yang tidak
menguasai sesuatu barang akan tetapi demi formalitas gugatan harus dilibatkan
guna dalam petitum sebagai pihak yang tunduk dan taat pada putusan hakim
perdata.”
Putusan MA RI
No.144 K/Sip/1973, Tgl 27 Juni 1973, Menyatakan : “Putusan declaratoir
Pengadilan Negeri mengenai penetapan ahli waris/ warisan bukan merupakan nebis
in idem”.
Putusan MA RI
No.102 K/Sip/1968, Menyatakan : “Bila ternyata pihak-pihak berbeda dengan
pihak-pihak dalam perkara yang sudah diputus terlebih dahulu, maka tidak ada
nebis in idem”.
Unsur-unsur nebis in idem : Objek tuntutan sama; Alasan yang sama; Subjek gugatan
sama.
Putusan MARI
No.67 K/Sip/1975, Tgl 13 Mei 1975, Menyatakan : “ Petitum tidak sesuai dengan
posita, maka permohonan kasasi dapat diterima dan putusan Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negeri dibatalkan”.
Putusan MA RI No.556 K/Sip/1971, Tgl 10 November 1971 jo Putusan MA RI No.
1245 k/Sip/1974,tgl. 9 November 1976, Menyatakan : “Putusan yang mengabulkan
lebih dari yang dituntut, diizinkan selama hal itu masih sesuai dengan keadaan
materil, asal tidak menyimpang daripada apa yang dituntut dan putusan yang
hanya meminta sebagian saja, sesuai putusan MA No. 339 k/Sip/1969”
Putusan MA RI
No.565 K/Sip/1973, Tgl 21 Agustus 1974, Menyatakan : “Kalau objek gugatan tidak
jelas, maka gugatan tidak dapat diterima”.
Putusan MA RI
No.1149 K/Sip/1979, Tgl 17 April 1979, Menyatakan : “Bila tidak jelas
batas-batas tanah sengketa, maka gugatan tidak dapat diterima”.
Putusan MA RI
No.753 K/Sip/1973, Tgl 22 April 1975, Menyatakan : “Keberatan yang diajukan
Penggugat untuk Kasasi; bahwa Pengadilan Negeri telah menjatuhkan putusan sela
yang merupakan putusan provisionil menyimpang dan melebihi dari surat gugatan,
sebab tuntutan provisionil semacam itu tidak pernah diajukan oleh Penggugat
asal, tidak dapat diterima karena hal itu menyebabkan batalnya putusan judex
facti”.
Putusan MARI No.425 K/Sip/1975, Tgl 15 Juli 1975, Menyatakan : “Mengabulkan
lebih dari petitum diizinkan, asal saja sesuai dengan posita. Disamping itu
dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia, baik hukum acara pidana /perdata,
hakim bersifat aktif”.
Putusan MARI
No.992 K/Pdt/1995, Tgl 31 Oktober 1997, Menyatakan : “Status Keperdataan
principal tidak dapat dialihkan kepada guarantor diluar tuntutan pembayaran
hutang karena penjamin selamanya adalah penjamin atas hutang prinsipal yang
tidak mampu membayar hutang, maka kepada diri guarantor tidak dapat dimintakan
pailit, sedangkan yang dapat dituntut hanyalah pelunasan hutang prinsipal”.
Putusan MARI
No.126 K/Sip/1976, Tgl 4 April 1978, Menyatakan : “Untuk sahnya jual beli tanah
tidak mutlak harus dengan kata yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat pembuat
akta tanah, akta pejabat ini hanyalah suatu alat bukti”.
Putusan MARI No.554 K/Sip/1976, Tgl 26 Juni 1979, Menyatakan : “Berdasarkan
Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10/1961 setiap pemindahan hak atas tanah
harus dilakukan di hadapan pejabat akta tanah setidak-tidaknya di hadapan
Kepala Desa yang bersangkutan”.
Putusan MARI No. 204 K/Sip/1973, Tgl 11 Juni 1973, Menyatakan : bahwa suatu
surat bukti yang berisi keterangan warisan yang dibuat secara sepihak oleh
seorang waris yaitu orang yang mempunyai kepentingandan menjadi salah satu
pihak dalam perkara haruslah dikesampingkan”.
Putusan MARI
No.964 K/Pdt/1986, Tgl 1 Desember 1988, Menyatakan : “Apabila suatu surat bukti
yang diajukan dalam persidangan Pengadilan, yang oleh Hakim tidak dapat
disesuaikan dengan aslinya, karena surat aslinya telah hilang, maka apbila foto
copy surat bukti tersebut tanda tanganya diakui pihak lawan, maka surat bukti
berupa foto copy ini dapat diterima sebagai alat bukti menurut hukum”.
Putusan MARI No. 695 K/Sip/1969, Tgl 12 Agustus 1970, Menyatakan : bahwa
seseorang yang bertahun-tahun lamanya menguasai dan tinggal dengan tidak ada
gangguan apa-apa dapat dianggap sebagai pemilik tanah itu”.